Login

Populer

Menepis Stigma Larangan Kepemimpinan Perempuan di Aceh

Femini.id – Munculnya perspektif gender dan gerakan feminisme diakhir abad 19 merupakan awal pergerakan perempuan di ranah produktif.
Dapat dilihat dari bagaimana perempuan dilibatkan secara aktif bekerja di berbagai bidang, mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik hingga agama. Meski demikian, perempuan masih terbelenggu dengan budaya, mitos dan jauh dari kata kompetensi yang sehat di ranah produktif.
Hal tersebut terjadi di Kota Banda Aceh ketika seorang perempuan mencalonkan diri menjadi pemimpin. Di Aceh, perdebatan mengenai boleh tidaknya memilih perempuan sebagai pemimpin selalu ada dari waktu ke waktu.
Masyarakat Aceh memang tidak bisa lepas dari nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam tersebut tersebar dan sangat berkaitan erat penyebarannya terwujud berkat peran ulama.
Usai Pilkada 2024, isu mengenai kepemimpinan perempuan kembali menjadi perbincangan hangat di Aceh. Meski perempuan Aceh telah mencatatkan sejarah gemilang dalam kepemimpinan, stigma negatif terhadap perempuan yang memimpin masih saja bermunculan, terutama saat masa pemilihan.
Kondisi ini selalu dikaitkan dengan tindakan melanggar syariat Islam. Fenomena itu lantaran Aceh menjadi salah satu Provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariat Islam secara formal, memiliki aturan yang diatur dalam Qanun Jinayat sebagai bentuk kekhususan Aceh. Kehadiran qanun ini membawa dinamika yang kompleks terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk kepemimpinan perempuan.
Di satu sisi, qanun ini dianggap sebagai bagian dari identitas kultural dan keagamaan Aceh, tetapi di sisi lain, pelaksanaannya dinilai berdampak pada ruang gerak perempuan, terutama bagi mereka yang berada di ranah kepemimpinan. Namun nyatanya aturan tersebut tak diatur dalam qanun Aceh, begitupun dalam Al-Quran yang menjadi pedoman hidup manusia.
Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri, menyoroti bahwa stigma terhadap kepemimpinan perempuan kerap muncul sebagai konsumsi politik pragmatis saat Pilkada.
Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri. Foto: Istimewa
Ia menilai bahwa stigma ini hanyalah alat politisasi yang digunakan untuk melemahkan calon perempuan. Perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin acap kali digembar gemborkan terhadap posisinya.
Setiap lima tahun sekali isu larangan perempuan menjadi pemimpin beredar di bumi serambi Mekkah. Sama halnya dengan Pilkada 2024 yang baru saja berlangsung. Menurutnya Raihal, fenomena larangan pemimpin perempuan di Aceh saat Pilkada tidak terlalu parah seperti yang terjadi saat Pilkada 2017 lalu.
“Dulu banyak stiker yang ditempel di tiang samping jalan, hampir di segala sudut,” kata Raihal kepada Femini.id, Selasa, 10 Desember 2024.
Namun kini, situasi pencalonan tidak separah dulu. “Artinya saat ini masyarakat sudah lebih teredukasi akan hal tersebut,” ucapnya.
Jika berkaca pada zaman kesultanan, Aceh pernah dipimpin oleh sultanah-sultanah perempuan pada abad ke-15 dan 17. Kepemimpinan mereka bahkan didukung oleh ulama-ulama besar Aceh.
Setidaknya, Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh empat perempuan selama hampir 60 tahun, mulai 1641 M hingga 1699 M atau bertepatan dengan 1050 H sampai 1109 H. Salah satunya Sri Ratu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, perempuan pertama yang menjadi pemimpin negeri Aceh.
“Jadi apa yang mau diperebutkan. Dalam Al-Qur’an pun tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk memimpin. Kepemimpinan itu soal kemampuan, bukan persoalan jenis kelamin,” tegas Raihal.
Ia juga menekankan pentingnya perempuan pemimpin menunjukkan gaya kepemimpinan yang inklusif, berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, dan jauh dari karakter maskulin yang sering diasosiasikan dengan kekuasaan. Hal ini dinilai ampuh untuk menghapus stigma itu di masyarakat.
“Untuk menghapus stigma itu, perempuan harus menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin yang memperhatikan kebutuhan banyak pihak, termasuk kelompok rentan,” tambahnya.
Aktivis perempuan ini menggarisbawahi bahwa perempuan pemimpin sering kali menghadapi tekanan lebih besar dibandingkan laki-laki bahkan empat kali lipat lebih besar. Kesalahan kecil yang dilakukan perempuan terus-menerus diungkit dan diperbesar. Sebaliknya, kesalahan laki-laki jarang menjadi sorotan yang berkepanjangan.
“Kejadian yang pernah terjadi itu diungkit-ungkit selalu, seperti yang terjadi pada bu Illiza Sa’aduddin sekarang, Wali Kota Banda Aceh terpilih,” ujarnya.
Kemudian tokoh perempuan lain yang ikut mencalonkan yaitu Afridawati sebagai calon Bupati Simeulue, Nurhayati sebagai calon Wakil Bupati Simeulue, dan Meutia Apriani sebagai calon Wakil Wali Kota Langsa.
Founder Perempuan Berbicara, Arifa Safura menyoroti bahwa setelah berabad-abad berlalu, fatwa serupa masih menjadi dasar bagi sebagian pihak yang menentang kepemimpinan perempuan di Aceh, termasuk dalam kontestasi Pilkada modern.
Founder Perempuan Berbicara, Arifa Safura. Foto: Istimewa
 “Ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan haram, sama seperti fatwa dari Makkah empat abad lalu. Menurut saya, ini adalah kemunduran dalam cara berpikir, Islam selalu mengikuti perkembangan zaman dan fatwa atau aturan bisa berubah sesuai konteks serta kebutuhan suatu tempat,” jelas Arifa.
Ia memberikan contoh dari masa Sultanah, di mana aturan hukum yang keras, seperti potong hidung, potong tangan, hingga hukuman mati bagi pencuri, tidak lagi relevan dan jelas melanggar hak asasi manusia di masa kini.
Hukum yang diterapkan pada masa lalu menunjukkan bahwa aturan agama pun dapat disesuaikan dengan kondisi sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Baginya, kepemimpinan perempuan tidak hanya tentang jenis kelamin, tetapi tentang kemampuan, visi, dan misi yang mendukung kemajuan masyarakat.
“Sebagai seorang yang sering menyuarakan isu perempuan, saya tentu mendukung pemimpin perempuan yang memiliki visi untuk perubahan yang baik. Terlebih, jika ia memperjuangkan kesetaraan dan memberdayakan perempuan lainnya,” ujarnya.
Namun, Arifa juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa perempuan yang terpilih justru memiliki pola pikir yang melanggengkan patriarki yang sudah sangat mengakar di Aceh. Karena pemimpin perempuan dengan pola pikir patriarkis hanya akan memperkuat ketidakadilan yang ada, alih-alih membawa perubahan.
Selain dua aktivis perempuan ini, Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati juga menyampaikan keberpihakan terhadap adanya kepemimpinan perempuan.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati. Foto: Istimewa
Ia menegaskan bahwa seruan untuk menolak perempuan sebagai pemimpin bertentangan dengan sejarah Aceh yang kaya akan kontribusi perempuan dalam berbagai bidang.
Ia menyebutkan tokoh-tokoh besar seperti Sultanah Safiatuddin Tajul Alam dan Ratu Nurul Alam yang memimpin Aceh dengan keadilan, serta Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati yang memimpin peperangan demi mempertahankan negeri.
Sejarah ini seharusnya menjadi cermin dan motivasi untuk menghapus stigma terhadap perempuan pemimpin di era modern.
“Jangan sampai karena kepentingan politik praktis, sejarah penting Aceh ini terlupakan atau sengaja dikaburkan. Kepemimpinan perempuan di Aceh bahkan dikenal hingga tingkat global,” ujar Riswati.
Menurutnya, perempuan pemimpin membutuhkan dukungan dari keluarga, masyarakat, dan berbagai pihak, terutama dari sesama perempuan. Solidaritas dan empati antar perempuan dianggap menjadi kunci utama dalam menciptakan ekosistem yang mendukung bagi kepemimpinan perempuan.
“Kita juga perlu memberikan pengakuan dan apresiasi atas kontribusi perempuan di berbagai sektor, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga politik. Capaian dan kontribusi perempuan selama ini sangat mendukung proses penguatan demokrasi dan pembangunan Aceh,” tegasnya.
Lebih dari sekadar membicarakan gender, tantangan utama adalah menciptakan ekosistem yang mendukung kepemimpinan perempuan. Perempuan Aceh telah membuktikan perannya di tingkat komunitas hingga nasional, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memberikan ruang yang lebih besar dan setara bagi perempuan.
Ke depan, langkah konkret seperti memberikan pelatihan kepemimpinan, mendukung kebijakan yang pro-perempuan, dan menciptakan ruang diskusi yang inklusif harus terus digalakkan. Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan Aceh mampu membawa perubahan besar, dan saat ini adalah waktunya untuk kembali menghidupkan semangat itu.
Pilkada 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menegaskan kembali komitmen Aceh terhadap keadilan gender dan pengakuan terhadap kemampuan perempuan.
Dengan dukungan dari semua pihak, perempuan Aceh bisa kembali menjadi garda terdepan dalam pembangunan, sebagaimana yang telah ditorehkan dalam lembaran sejarah masa lalu.
Terpilihnya Pemimpin Perempuan di Kota Banda Aceh
Illiza Sa’aduddin Djamal, mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menang dalam Pilkada 2024. Ia terpilih menjadi wali kota Banda Aceh usai mengungguli tiga pasangan calon lainnya dengan peroleh suara akhir 44.982 suara.
Illiza Sa’aduddin Djamal. Foto: Femini.id
Illiza berpasangan dengan anak muda kota Banda Aceh, yakni Afdhal Khalilullah. Pasangan ini berhasil meraih kemenangan di delapan kecamatan di Kota Banda Aceh, dengan perolehan suara tertinggi di TPS Lamdingin, Kecamatan Kuta Alam, yang merupakan lokasi TPS tempat Illiza memberikan suaranya.
Saat dirinya mulai mencalonkan diri pada Pilkada 2024 ini, banyak narasi negatif menghampirinya. Tentunya banyak perjuangan pula yang telah ia lalui.
Dalam perjalanan karir nya, tahun 2017 menjadi tahun yang paling dahsyat. Ia terpaksa menerima hujatan, dan makian.
Namun pada periode ini ia belajar menerima dan menyikapisemua dengan baik serta lebih dewasa. Menjadi pemimpin diakuinya karena berkeinginan hidupnya dapat bermanfaat bagi orang lain.
Dalam video yang diunggah Illiza di media sosial miliknya, ia mengaku pemimpin perempuan haruslah memiliki mental pemenang.
“Saya pernah menang, dan saya pernah kalah, tapi saya harus memiliki mental pemenang,” katanya beberapa waktu lalu.
Baginya menang itu tak harus menang untuk mendapatkan jabatan. “Tapi juga menang ketika kita bisa berjalan dengan apa Allah mau dari kita bukan semaunya kita,” tuturnya.
Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS – International Media Support dan European Union.
 

- Advertisement -

Berita Terkait