Femini.id – Kabar pelecehan seksual di lembaga pendidikan yakni perguruan tinggi cukup mencuri perhatian. Nama Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Aceh Barat, mencuat adanya tindak asusila dterhadap korban mahasiswa. Hingga kini isu itu belum bisa disebut fakta lantaran korban ada yang melapor.
Rektor Universitas Teuku Umar (UTU), Prof Jasman J Ma’ruf merespon cepat dugaan perbuatan tak senonoh di kampus pimpinannya, Satuan Tugas (Satgas) Ad Hoc dibentuk untuk mengungkap benar atau tidaknya adanya oknum yang melakukan pelecehan seksual di lingkungan kampus.
“Kenapa satgas ad hoc, karena secara undang-undang kita belum boleh [membentuk Satgas] kita mengacu pada Permendikbud, UTU adalah PTN yang harus tegak lurus dengan kementerian, apapun yang kita lakukan mengacu kepada undang-undang yang ada,” ujar Prof Jasman, Kamis, 26 Mei 2022.
Jasman menuturkan, tak gampang membentuk suatu Satgas permanen di perguruan tinggi. Haruslah lebih dulu pihak kampus menetapkan Panitia Pelaksana (Pansel) pembentukan, lalu mereka dibuat Surat Keputusan (SK) baru dikirimkan namanya ke Jakarta. Jika disepakati, mereka [Pansel] akan dipanggil untuk dilatih.
“Kita sudah kirim nama ke Jakarta dan Jakarta belum panggil nama nama ini untuk dilatih, jika sudah dilatih baru mereka bisa memilih anggota Satgas. setelah anggota satgas terpilih, baru mereka dibekali lagi dan bekerja, tahapan ini yang sedang kita lakukan,” sebutnya.
Rektor tak mengelak atas tudingan yang saat ini menerpa kampus kecintaan di Barat Selatan Aceh (Barsela). Namun, tidak adanya laporan secara resmi dan tertulis, pihaknya tak bisa serta merta membenarkan adanya indikasi hal demikian dilakukan oknum di sana.
Ia memahami, bahwa adanya ketakutan bagi si korban untuk melaporkan secara tertulis, meski sudah ada aduan secara lisan, hal tersebut tak bisa menjadi pegangan pihaknya. Lantaran bisa saja, nanti omongan yang sudah dikeluarkan dibantah oleh dirinya sendiri.
“Meski tidak dilaporkan kita tetap ikuti [perkembangan], karena ini delik aduan, harus aktif melihat perkembangan. Si korban kadang kadang takut juga dia melapor, karena dia merasa tertekan dan malu. Kita tetap tidak tutup mata jika ini benar adanya terjadi,” tegas Prof Jasman.
Menurut Prof Jasman, kasus kekerasan seksual memang menjadi atensi, setidaknya ada 23 ribu kasus setiap tahunnya yang terjadi. Hal itu bisa dimana saja, meliputi kawasan pendidikan, pesantren, pasar. Sebab menurutnya hal itu sifatnya lebih kepada individu yang bisa disebut sudah mengakar dan menjadi penyakit diri.
Ketua Satgas [Ad Hoc] UTU, Chandra Darusman, mengatakan, Satgas terdiri dari 9 orang, empat dari dosen, empat mahasiswa dan satu tenaga kependidikan. Tujuannya untuk merespon cepat kabar tak sedap yang masih dipertanyakan kebenarannya.
Ia menjelaskan, adapun fungsi dan langkah yang bakal dibuat oleh Satgas beberapa waktu kedepan meliputi, sosialisasi satgas, memberitahukan adanya tempat pengaduan bagi mereka yang menjadi korban tindak asusila.
“Kedua akan memproses penerimaan laporan, laporan yang masuk akan dilakukan pendalaman akan ada proses penggalian fakta peristiwa, kemudian akan dilakukan pemilahan yang mana fakta hukum, termasuk dilakukan dengan cara memanggil seluruh pihak yang dianggap penting dan relevan,” jelasnya.
Chandra menambahkan, alat bukti akan dikumpulkan tim satgas bersama keterangan yang bersifat komprehensif. Lalu akan dianalisis lebih lanjut, untuk hasilnya akan diserahkan kepada pimpinan dan Senat Universitas.
“Senat yang akan memproses lebih lanjut, berupa sidang jika ada ditemukan bukti yang mengarah pada dugaan benar terjadinya pelanggaran, senat yang akan memutuskan nanti,” ungkapnya.
Meski nantinya korban takut melapor secara tertulis, lanjutnya Satgas yang terbentuk secara ad hoc ini juga akan mendalami aduan secara lisan. Sehingga tak terlalu bersifat birokratis, lalu melakukan berbagai upaya pemenuhan hak atas orang yang menjadi korban.
“Selain secara aduan langsung, teknis pelaporan secara online juga akan kita buka dengan nomor kontak yang akan bisa dihubungi,” pungkasnya.
Sementara itu, Kapolres Aceh Barat, AKBP Pandji Santoso, juga sudah mengumpulkan semua pihak, terdiri dari Polisi, Akademisi, Pemerintah Daerah (Pemda), Ulama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Mahasiswa, membentuk tim terpadu penanganan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak
Berbagai unsur telah berumbuk di aula Mapolres setempat pada Senin (23/5). Mereka sepakat untuk menciptakan kondisi zero atau nol kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Tim yang dibentuk bergerak secara diam mengungkap kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat.
“Hasilnya menyepakati pola tindakan oleh semua unsur, sebab isu perempuan dan anak ini merupakan isu yang fundamental dan isu global, sehingga apapun yang akan ditemukan (kasus) dimanapun, tim ini akan bekerja secara gabungan,” ujar Pandji.
Namun, pandji tak merespon kala pertanyaan apakah sudah ada laporan terkait dugaan pelecehan seksual di salah satu universitas. Jika nantinya ada laporan ke aparat penegak hukum akan hal itu. Tentu akan dikaji lebih lanjut oleh tim yang sudah terbentuk ini, agar tak salah bertindak hingga malah membuat korban semakin terpuruk.
“Untuk isu tentang pelecehan [di kampus], itu sudah kita bahas, pemidanaan tidak boleh salah. Korban jika ada pelaporan maka akan kami lindungi pelapor, tim ini akan bekerja silent [senyap]. Kalau salah tindakan ini akan menjadi boomerang bagi korban,” pungkasnya.