Femini.id – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengimbau kepada masyarakat agar tidak memberikan stigmatisasi dan perundungan terhadap anak dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya, termasuk orang tua yang sedang menjalani proses hukum.
“Stigmatisasi anak dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya, dan perundungan terhadap anak merupakan bentuk kekerasan yang harus dicegah dibersama,” kata Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Titi Eko Rahayu, Minggu, 18 September 2022.
Rahayu mengatakan, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, berasaskan non diskriminasi, sebagaimana yang tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Konvensi Hak-Hak Anak.
“Pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” ujarnya.
Selanjutnya UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 4 pun menyatakan: Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Oleh sebab itu, stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya dan perundungan yang diterima anak, menciderai hak anak atas tumbuh dan berkembang dan hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Kami harap masyarakat menghentikan dan tidak melakukan stigmatisasi dan perundungan, termasuk perundungan secara daring, kepada anak yang berhadapan dengan situasi tersebut,” jelasnya.
Titi Eko mengatakan pada pasal 59 huruf ayat 2 (o), UU No. 35 Tahun 2014 yang merupakan UU perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan anak harus dilindungi dari korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.