Login

Populer

Seni Membuat Rapai di Zaman Teknologi Canggih

Femini.id – Rapai merupakan salah satu jenis alat musik khas Aceh yang terbesar dan mampu menghasilkan suara nyaring. Alat musik tabuh atau perkusi ini dibuat dari bagian pohon kayu yang dibentuk seperti cincin (baloh). Di salah satu bagian baloh itu dipasang kulit kambing atau kulit sapi yang telah dikeringkan.

Pemasangan kulit pada baloh tersebut dilakukan dengan bantuan kayu atau bambu dan rotan. Di salah satu bagian kecil baloh-nya dilubangi kecil tipis saja dan di sana dipasang lempengan tipis kecil logam yang disebut boh grik-grik (kerincing).  

Rapai memiliki beberapa jenis menurut ukuran baloh-nya. Kulit untuk rapai juga terdapat beberapa perbedaan. Baloh di rapai Pasee memiliki ukuran lebih besar, sehingga dipasang kulit sapi. Sementara pada baloh pada rapai biasa yang lebih kecil dipasang kulit kambing. Suara rapai yang dipasang kulit kambing betina, yang lebih tipis, berbeda dengan yang dipasangi kulit kambing jantan yang lebih tebal.

Semua rapai memiliki suara yang secara umum sama dengan alat musik tabuh lain. Namun, kualitas suaranya tergantung dari bahan kayu untuk membut baloh dan pilihan kulitnya.

Para pembuat rapai di Aceh sekarang sudah mulai langka. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Hanya sekira tujuh orang. Ada yang dapat membuat rapai secara utuh bahkan dapat membuat alat musik lain pula. Ada yang hanya dapat membuat bagian-bagiannya, misalnya, satu orang dapat membuat baloh-nya, yang lain hanya dapat memasang kulit.

Fajar Siddiq. Foto: Istimewa

Salah seorang utoh atau seniman pembuat rapai tersebut adalah Fajar Siddiq. Dia adalah utoh terkemuka dalam bidang ini dan seniman multitalenta. Selain membuat rapai secara lengkap, laki-laki kelahiran 5 Mei 1974 ini juga dapat membuat alat musik lainnya. Selain rapai, ia juga dapat membuat seurune kalee, biola, dan lainnya. Bahkan, selain menjadi pembuat alat musik, dia juga dapat mengarang lirik lagu, bernyanyi, dan menari.

Bagi Fajar, terjun ke dalam usaha membuat rapai merupakan panggilan jiwa dan tanggung jawabnya terhadap seni. Dia memilih membuat alat musik Aceh menjadi usaha karena warisan darah seni dari kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya adalah seniman. 

“Ini adalah tanggung jawab. Ini bidang saya. Baik penghasilannya cukup atau tidak, saya tetap di sini. Walaupun kadang saya tidak memiliki cukup uang untuk sekolah anak dan lainnya, saya tidak akan menggantikan profesi ini. Apapun yang terjadi, saya tetap di seni. Di Aceh. Pada tahun 2001 saya pernah ditawarkan kontrak kerja di Malaysia. Tawaran itu saya tolak,” kata Fajar.

Fajar telah terjung ke dalam seni membuat rapai sejak 1985. Dia belajar di kampungnya di wilayah Nagan Raya, pada pada Khuk Idoi. Di sanalah Fajar belajar membuat rapai. Saat itu masih secara manual.

“Kadang alat pelobang baloh yang cara kerjanya dengan diinjak itu rusak, maka baloh itu harus dipahat. Sebenarnya, mesin sudah lama ada, tapi saat itu orang belum tahu cara membuat mesin tersebut supaya dapat digunakan untuk membuat rapai,” kata Fajar mengenang masa sekira 37 tahun lalu.

Sekira tahun 1990-an, Fajar hijrah ke Banda Aceh. Dia masuk ke Sanggar Cut Nyak Dhien. Orang-orang pun semakin banyak memesan rapai padanya. Karena itu, dia membeli mesin dan memodifikasikannya untuk kebutuhan membuat rapai.

“Apabila dilakukan dengan cara manual, maka dalam satu bulan dapat menyelesaikan satu buah rapai. Sementara, jika menggunakan mesin seperti yang sekarang saya gunakan, maka satu satu buah rapai tersebut dapat diselesaikan dalam satu hari,” kata Fajar.

Dari sekian puluh tahun menggeluti usaha kreatif membuat rapai, Fajar lebih banyak mendapat pesanan rapai untuk alat musik dibandingkanuntuk cendera mata. Pada waktu pascatsunami, misalnya, banyak warga negara asing membeli rapai untuk cendera mata dan dibawa pulang ke negara mereka.

“Sekarang, bahan baku kayu untuk rapai semakin sulit. Hutan yaang lebih dekat dengan pemukiman telah ditanami sawit. Maka, saya harus mencari kayu ke pedalaman hutan rimba. Di pedalaman rimba itu, ada banyak binantang buas,” ujarnya.

Untuk kebutuhan rapai, Fajar tidak dapat memesan kayu dari orang lain. Kalau dipesan, tidak akan ada yang sesuai. Ia harus melihat sendiri kayu terbaik untuk baloh rapai. Para penebang kayu umum tidak tahu soal ini. Karena alasan ini, Fajar harus menjelajahi rimba demi mendapatkan baloh rapai terbaik. Dia mencari-cari kabar dari para pencari kayu di hutan, di mana terdapat pohon-pohon yang dibutuhkannya. Setelah mendapatkan pohon yang dimaksud, Fajar membaca doa-doa, sebagaimana adat budaya Aceh. Setelah itu, dia pulang telebih dahulu. Kayu tidak diambil di hari itu.

“Pada malam harinya, saya bermimpi. Di dalam mimpi itu akan terjadi percakapan. Saya minta izin untuk ambil kayu itu. Kadang harus berdebat dengan penghuni pohon tersebut. Kalau saya menang, maka keesokan harinya, kayu itu saya ambil,” kata Fajar.

Fajar tidak akan pernah mengambil pohon kayu di lingkungan kuburan. Itu pantangan baginya. Dia pernah melihat, ada orang meninggal setelah  memotong kayu di kuburan. 

“Pohon terbaik untuk baloh rapai adalah pohon Kamariah, Tarung Ijo, Ceuradi, Tualang, Meureuboe, Mane, Mahoni, dan Panah (semua nama pohon disebut di dalam bahasa Aceh),” kata Fajar lagi.

Menurut Fajar, pohon Kamariah cuma ada di Beutong Ateuh. Itu pohon paling kuat. Setelah pohon itu dipotong dari tempatnya, maka harus segera dipotong-potong pendek untuk ukuran baloh. Kalau ditunggu sampai besok, maka mesin tidak akan sanggup memotong kayu itu lagi, karena semakin mengeras.

“Saya membuat rapai hanya jika ada pesanan, karena untuk membuat rapai itu perlu modal. Setelah pemesan membayar harga awal untuk menyediakan bahan, saya mulai mengerjakannya. Kalau kayunya belum ada, maka saya harus ke hutan rimba untuk mendapatkannya. Jika ada modal, saya dapat membuat beberapa rapai terlebih dahulu, lalu saya pajang. Itu lebih baik sebenarnya, dapat terlihat semacam galeri,” sebutnya.

Beberapa tahun lalu, usaha kreatif yang digeluti Fajar ini mendapat harapan baru. Pada 2016-2017, rapai dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Namun, setelahnya terjadi pandemi, maka usaha membuat rapai pun terhenti sementara. Setelah pandemi mereda, kini mulai ada pesanan lagi.

Nurlaila Hamjah. Foto: Istimewa

Sementara itu, Kepala Bidang Bahasa Dan Seni Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, Nurlaila Hamjah, S.Sos., M.M., mengatakan, pemerintah selalu mengupayakan supaya usaha ekonomi kreatif yang dijalankan oleh para seniman dapat berkembang dan maju.

“Keberlangsungan usaha ekonomi kreatif dapat mempertahankan warisan budaya Aceh. Industri ekonomi kreatif merupakan penunjang pariwisata yang selama ini kita galakkan,” kata Nurlaila. (Adv)

Catatan: Berita ini disiarkan atas kerja sama antara Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, Bidang Bahasa Dan Seni dengan (Media online: www.femini.id)

- Advertisement -

Berita Terkait