Aceh: Perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan memerlukan kolaborasi menyeluruh dari berbagai pihak. Terlebih di era digital seperti sekarang, remaja dan anak menghadapi tantangan kompleks, seperti kekerasan berbasis daring, perundungan (cyberbullying), serta tekanan sosial yang dapat memengaruhi kesehatan mental mereka.
“Perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa dilakukan secara parsial,” Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Aceh, Meutia Juliana, S.STP., M.Si., Sabtu, 21 Juni 2025.
Meutia menekankan pentingnya memperkuat literasi digital dan pendidikan karakter sebagai langkah pencegahan. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya menyediakan ruang aman bagi anak dan remaja untuk mengekspresikan aspirasi mereka tanpa rasa takut.
“Perlindungan anak tidak hanya sekadar menjauhkan mereka dari kekerasan, tetapi juga memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang sehat, positif, dan mendukung perkembangan optimal mereka,” ujarnya.
Ia menambahkan, upaya perlindungan harus dimulai dari pencegahan berbasis keluarga dan sekolah, hingga layanan pemulihan korban yang terintegrasi.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan sinergi kuat dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk orang tua, pendidik, dan pihak swasta,” tegasnya.
Maraknya kasus eksploitasi anak online dan perundungan siber menjadi bukti bahwa ancaman di dunia digital nyata dan terus berkembang. Oleh karena itu, Meutia mendorong agar orang tua dan guru lebih proaktif dalam memantau aktivitas anak di internet, sekaligus memberikan pemahaman tentang etika berdigital.
“Harapannya, dengan pendekatan multisektor, perlindungan terhadap perempuan dan anak dapat lebih optimal dan berkelanjutan,” jelasnya.