Aceh: Koalisi Masyarakat Kuala Batee mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat Daya (Abdya) untuk segera meminta pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT Abdya Mineral Prima. Desakan ini disampaikan langsung dalam pertemuan dengan Bupati Aceh Barat Daya, Safaruddin, di Pendopo Bupati pada Sabtu (18 Oktober 2025), yang menghasilkan komitmen bupati untuk menyurati Gubernur Aceh dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Koordinator Aliansi Masyarakat Kuala Batee, Ibrahim, menyatakan bahwa pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat dengar pendapat sebelumnya.
“Bupati Aceh Barat Daya sepakat bersama masyarakat Kuala Batee untuk menyurati Gubernur Aceh dan Menteri ESDM agar mencabut izin IUP PT Abdya Mineral Prima,” ujar Ibrahim, Sabtu, 18 Oktober 2025.
Ia menegaskan penolakan masyarakat terhadap seluruh aktivitas pertambangan yang dinilai cacat prosedur dan berpotensi merusak lingkungan.
Penolakan ini didasari oleh sejumlah kejanggalan administrasi. Koalisi menuding adanya perluasan wilayah tambang yang tidak sesuai rekomendasi awal. Rekomendasi Bupati dari Pj. Bupati periode 2022–2024 hanya mencakup empat gampong, namun dalam IUP Eksplorasi yang diterbitkan, luas wilayah membengkak menjadi 2.319 hektare dan mencakup tujuh gampong.
“Artinya, ada perluasan wilayah tambang yang tidak sesuai dengan rekomendasi bupati. Ini cacat hukum dan administrasi,” tegas Ibrahim.
Lebih lanjut, Ibrahim mengungkapkan dugaan intervensi terhadap kepala desa dalam penerbitan rekomendasi. Dari tujuh gampong, enam di antaranya disebut mengeluarkan rekomendasi tanpa musyawarah desa dan tanpa permohonan resmi perusahaan.
“Beberapa kepala desa mengaku ditekan oleh pejabat saat itu. Ada yang dipanggil ke kantor bupati, ada juga yang didatangi LO perusahaan. Sebagian mengaku ditipu karena diberi informasi bahwa rekomendasi hanya untuk survei, bukan izin operasi tambang,” jelasnya.
Selain persoalan administrasi, izin tambang ini juga dinilai melanggar Qanun Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 17 Tahun 2013 tentang RTRW, yang melarang kegiatan tambang di kawasan perbukitan ber-sumber mata air dan permukiman. “Lokasi tambang berada di kaki perbukitan yang menjadi sumber air utama bagi tujuh desa. Sungai-sungai di kawasan itu adalah sumber air petani, peternak, dan kebutuhan konsumsi warga,” papar Ibrahim.
Menyikapi hal ini, Koalisi Masyarakat Kuala Batee memberikan ultimatum. Mereka meminta perusahaan segera mengajukan pembatalan IUP dan menghentikan seluruh kegiatannya. “Supaya tidak terjadi pengerahan massa ke kantor PT Abdya Mineral Prima di Jakarta, kami meminta perusahaan segera bertindak,” tegas Ibrahim. Ia memperingatkan bahwa aksi protes akan berlanjut hingga ke Banda Aceh dan Jakarta jika tuntutan mereka tidak ditanggapi.
Ibrahim menegaskan bahwa perjuangan ini adalah bentuk tanggung jawab untuk menjaga lingkungan dan keselamatan warga. “Kami akan terus melawan sampai PT Abdya Mineral Prima angkat kaki dari Kuala Batee,” pungkasnya.