Populer

#PerempuanRawatBumi: Perempuan Aceh Penyelamat Terumbu Karang di Titik Nol Kilometer Indonesia

Sabang, Aceh: Di ujung Barat Indonesia, tepat di titik Nol Kilometer Sabang, Aceh, keindahan bawah lautnya terancam oleh kerusakan terumbu karang akibat perubahan iklim, penangkapan ikan merusak, pencemaran dan coral bleaching.

Foto Drone Pulau Rubiah, Iboih, Sabang, Aceh.

Namun, di balik ancaman yang terus mengintai itu, ada secercah harapan. Nadya Tirta, seorang perempuan lokal yang gigih memimpin upaya penyelamatan terumbu karang bersama komunitasnya.

Dengan metode spider web, mereka merehabilitasi karang yang rusak, menghidupkan kembali ekosistem laut, dan mengembalikan harapan bagi nelayan serta masa depan ekowisata Sabang. Ini adalah kisah tentang ketangguhan perempuan Aceh yang berjuang melestarikan ‘surga bawah laut’ Indonesia.

Perempuan Penyelamat Terumbu Karang
Di tengah tantangan ini, Nadya yang mewarisi semangat konservasi dari mendiang ayahnya, mengubah keputusasaan menjadi aksi nyata.

Dengan metode spider web, Nadya bersama komunitas penyelam muda dari Yayasan Coral Oasis sejak 2019 menciptakan rumah baru bagi karang yang rusak. Ini adalah upaya yang dimulai oleh keluarganya setelah bencana tsunami Aceh.

Karena di Sabang ini kan kekayaan alamnya sangat melimpah, cita-cita saya dari dulu memang ingin jadi peneliti untuk meneliti daerah saya sendiri, khususnya di bagian lautnya,” ungkap Nadya saat diwawancarai Femini.id.

Nadya, yang saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Biologi di Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh, menjadikan kisah mendiang ayahnya sebagai motivasi. Di detik-detik terakhir sebelum menghembuskan napas, sang ayah sempat berpesan kepada Nadya.

“Dek satu pesan ayah, belajar terus ya, ayah mau tidur sebentar,” kenang Nadya.

Namun, kata-kata terakhir itu ternyata menyimpan makna yang mendalam baginya. Sejak kecil, Nadya dikenal sebagai anak yang kritis dan penuh rasa ingin tahu. Kebiasaannya bertanya dan berdiskusi dengan ayahnya telah membentuknya menjadi pribadi yang haus akan pengetahuan.

Transplantasi Terumbu Karang Dengan Metode ‘Spider Web’
Nadya Tirta tidak tinggal diam. Perempuan akar rumput ini bersama komunitasnya fokus pada rehabilitasi terumbu karang. Mereka memilih bertindak ketimbang menunggu. Dengan penuh semangat, Nadya dan timnya memimpin program transplantasi karang menggunakan metode spider web atau jaring laba-laba buatan.

Prosesnya tidak sederhana. Mereka merangkai besi menjadi modul berbentuk jaring laba-laba, melapisinya dengan resin anti karat, lalu menaburi pasir laut agar bibit karang dapat menempel dan tumbuh.

Setelah siap, modul-modul ini dibawa ke dasar laut Iboih dengan kedalaman delapan hingga sepuluh meter. Bibit karang lokal yang diambil tak jauh dari lokasi penanaman kemudian diikat satu per satu pada modul besi itu.

“Ada 11 modul transplantasi karang telah diletakkan di kawasan konservasi laut Sabang dengan luas sekitar 10 meter. Jumlah ini belum cukup untuk merehabilitasi area yang rusak,” ujar Nadya.

Pemantauan transplantasi dilakukan secara berkala, yaitu 1, 3, 6 bulan, dan 1 tahun pasca-penempatan modul. “Kami membersihkan media dari alga dan melakukan replanting untuk karang yang tidak survive. Namun, tingkat keberhasilan hidup karang belum terukur akibat fenomena bleaching akibat kenaikan suhu laut tahun lalu,” jelasnya.

Peran Perempuan dalam Konservasi Laut
Nadya menyoroti minimnya keterlibatan perempuan dalam konservasi laut, padahal peran mereka sangat vital. Ia menekankan pentingnya peran perempuan dalam pelestarian ekosistem laut.

“Perempuan itu ibarat ‘ibu’, ada sense merawat, menyayangi, melindungi jadi bila perempuan bergerak di konservasi tentunya akan memiliki rasa untuk melindungi apa yang telah ia usahakan. Minimnya peran perempuan ini mungkin dikarenakan tidak banyaknya penyelam perempuan disini,” ungkap Nadya.

Ia mengakui sempat mendapat stigma negatif, seperti anggapan bahwa perempuan tidak pantas menyelam.

“Tentunya awal-awalnya sempat diremehkan. Apalagi sama orang yang nggak paham diving. Ngapain anak perempuan harus nyelam-nyelam di laut. Karena mindsetnya masih anak perempuan itu harus kalem, di rumah aja. Tapi keluarga saya malah support saya untuk selalu melakukan kegiatan ini,” ceritanya sambil tertawa.

Namun, lambat laun, orang-orang di sekitarnya pun paham akan pentingnya rehabilitasi karang. “Seiring berjalannya waktu sekeliling juga paham kenapa saya harus melakukan rehabilitasi itu, karena saya juga terus sounding ke teman-teman bagaimana cara menanam karang,” ucapnya.

Karang yang Memutih, Masa Depan yang Suram
Laut Sabang menyimpan kekayaan alam bawah laut, terumbu karang yang dulu menjadi rumah bagi ribuan biota laut. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena coral bleaching atau pemutihan karang akibat kenaikan suhu air laut telah merenggut warna dan kehidupan terumbu karang. Kondisi ini diperparah oleh aktivitas manusia yang merusak, seperti pencemaran dan praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.

Dosen Program Studi Ilmu Kelautan FKIP USK dan Peneliti di Pusat Riset Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (USK), Maria Ulfah, S.Kel., M.Si, mengatakan penyebab kerusakan Ekosistem Terumbu Karang (ETK) berasal dari faktor alam dan manusia.

“Pemanasan global (global warming) menjadi ancaman terbesar karena meningkatkan suhu permukaan laut melebihi batas normal (23-29°C). Pada 2010, suhu laut bahkan mencapai 36°C, memicu pemutihan karang secara masif,” ungkap Maria.

Selain faktor alam, pencemaran sampah laut turut mempercepat kerusakan. Sampah plastik, jaring, dan tali pancing menutupi polip karang hingga menyebabkan kematian. Lebih berbahaya lagi, plastik yang terurai menjadi mikroplastik mengganggu reproduksi karang, meningkatkan stres, dan merusak komunitas mikroba pendukung kehidupan terumbu karang.

Praktik penangkapan ikan destruktif seperti penggunaan potasium (racun), bom ikan, dan pukat harimau juga menghancurkan ekosistem. “Potasium tidak hanya membunuh ikan target, tetapi juga karang dan biota lain. Sementara bom ikan menghancurkan struktur karang, dan pukat harimau menyapu habis semua kehidupan, termasuk ikan kecil dan karang,” papar Maria.

Dampak pemutihan karang (bleaching) sudah terlihat nyata. Pada 2010, 2016, dan 2024, sekitar 50% terumbu karang di Sabang dan Kabupaten Aceh Besar memutih. Suhu air laut yang meningkat membuat karang stres, mengusir alga simbiotik yang memberi mereka warna dan nutrisi. Tanpa alga, karang memutih dan perlahan mati. Sehingga mengancam kelangsungan hidup ikan-ikan yang bergantung padanya, seperti kakap, kerapu, dan lobster.

Kerusakan ini berimbas pada ekonomi masyarakat pesisir. Nelayan kesulitan mendapatkan tangkapan karena ikan kehilangan habitat. Jika dibiarkan, dampaknya akan meluas. Nelayan kehilangan sumber penghidupan, pariwisata bahari terancam, dan ekosistem laut runtuh.

“Jika karang mati, nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapan, pendapatan keluarga pun terancam,” jelas Maria.

Hasil Tangkapan Nelayan: Harapan Baru, Tantangan Lama
Sejak rehabilitasi terumbu karang di laut Sabang digiatkan, perlahan-lahan biota laut mulai kembali berdatangan. Beberapa nelayan mengakui peningkatan hasil tangkapan, terutama di area yang dekat dengan lokasi transplantasi karang.

“Alhamdulillah, setelah adanya pemulihan, ada lah hasilnya, pendapatan nelayan kini kembali meningkat,” ujar Panglima Laot Iboih, tokoh adat nelayan setempat, Muhammad Abdul Gani.

Namun, tak semua nelayan merasakan dampak yang sama. Beberapa menyatakan belum melihat adanya perubahan dan merasa ragu apakah usaha rehabilitasi benar-benar berdampak langsung terhadap penghidupan mereka. Ia juga mengungkapkan kekhawatiran soal aturan baru terkait penangkapan ikan yang dinilai membatasi ruang gerak mereka.

“Ada perubahan, tapi belum terasa besar. Laut ini luas, kadang hasil masih tergantung musim dan cuaca,” ujar salah satu nelayan muda Sabang yang enggan disebut namanya.

Dukungan Pemerintah dan Masa Depan Ekowisata: Jalan Panjang Menuju Keberlanjutan
Pemerintah setempat menyadari pentingnya konservasi ini. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sabang, Zulfan, menekankan bahwa edukasi dan sosialisasi tentang praktik penangkapan ikan ramah lingkungan masih perlu diperluas.

“Kondisi ekosistem laut harus terus dijaga. Kami selalu sosialisasikan cara menangkap ikan yang ramah lingkungan. Tapi kami juga paham tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah turun-temurun,” jelas Zulfan.

Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Weh ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.3919/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Pulau Weh. Memiliki potensi besar, tidak hanya dari keanekaragaman hayati, namun juga ikon nasional seperti Tugu Kilometer Nol. Kawasan ini terdiri dari 1.197 ha daratan dan 5.280,2 ha laut, serta merupakan jalur migrasi mamalia laut seperti lumba-lumba, serta sebagai tempat transit burung-burung migran.

Pesan dari Titik Nol Kilometer
Bagi Nadya dan kawan-kawannya, perjuangan menyelamatkan terumbu karang adalah simbol ketahanan sekaligus kesadaran akan kompleksitas. Di titik paling barat Indonesia, mereka mengirim pesan kepada dunia, bahwa menjaga laut bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal sosial dan keadilan ekologis.

Meski menghadapi tantangan, ia tetap berharap lebih banyak masyarakat, terutama perempuan, terlibat dalam aksi nyata. “Semoga makin banyak yang terlibat dalam rehabilitasi karang ini,” pesan Nadya.

Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #Perempuan Rawat Bumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS). Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id

- Advertisement -

Berita Terkait