Malam itu puluhan Sedulur Sikep berkumpul di Omah Kendeng yang terletak di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Mereka duduk melingkar di atas tikar sembari dihibur oleh anak-anak yang menampilkan klenengan, seni karawitan dengan kidung jawa dan iringan gamelan.
Omah Kendeng adalah sebuah bangunan berbentuk limasan yang digunakan sebagai ruang pertemuan. Setiap malam Rabu Pon dalam kalender Jawa, Sedulur Sikep biasa melakukan Wungon di tempat tersebut. Wungon adalah sebuah tradisi di mana Sedulur Sikep berkumpul dan mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan perasaan mereka.
Sedulur Sikep adalah sebuah komunitas adat yang menganut ajaran ‘Saminisme’. Ajaran ini berasal dari seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang lahir pada tahun 1859 di Blora.
Komunitas Sedulur Sikep tinggal di sepanjang kawasan pegunungan Kendeng Utara yang terletak di antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, membentang dari Kabupaten Pati, Grobogan, Rembang, dan Blora di Jawa Tengah, hingga ke Kabupaten Bojonegoro dan Lamongan di Jawa Timur.
Sepanjang hampir dua dekade terakhir, mereka konsisten menolak penambangan karst dan pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara karena telah merusak ekosistem dan berdampak buruk pada ruang hidup yang selama ini mereka jaga. Penolakan ini mengakibatkan sejumlah Sedulur Sikep dikriminalisasi.
Sikap Sedulur Sikep ini merupakan ekspresi dari cara hidup mereka yang menghormati keseimbangan alam. “Kami ini menjaga keseimbangan. Kalau ada yang memilih jadi priyayi, kami memilih jadi petani,” ungkap Gunretno, salah satu tokoh Sedulur Sikep di Sukolilo.
Di Pati, dinamika yang terjadi antara Sedulur Sikep dengan pemerintah membuat mereka tidak mudah percaya pada orang luar, termasuk saat mereka dibujuk agar bersedia divaksin COVID-19. Pemerintah melalui Puskesmas, polisi, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) sudah berusaha membujuk mereka namun selalu gagal.
Di tengah situasi tersebut, Prijo Wasono (48) berusaha berkenalan dan memahami Sedulur Sikep dalam kaitannya dengan sikap mereka atas pandemi dan vaksin COVID-19. Saat pertama datang ke sana pada Agustus tahun lalu, ia disambut dengan ramah dan terbuka.
“Pelan-pelan saya pun menjelaskan bagaimana vaksin sebenarnya telah menjadi kebutuhan bersama secara global karena kita semua hidup dalam pandemi, dan hal ini tidak ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang kerap tidak berpihak pada mereka,” ungkap Prijo.

Prijo Wasono adalah Program Officer Migrant CARE untuk program percepatan vaksinasi COVID-19 bagi kelompok rentan. Program ini diinisiasi oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) yang bekerja sama dengan Save the Children dan Migrant CARE. Di Jawa Tengah, program ini sudah membantu lebih dari 96.000 orang mendapatkan haknya atas vaksin, termasuk lansia, disabilitas, dan juga komunitas adat.
Menurut Prijo, Sedulur Sikep sebenarnya paham jika saat ini dunia tengah diterpa pandemi. Hanya saja, mereka merasa tidak pernah mendapat informasi yang komprehensif terkait apa itu COVID-19, apa itu vaksin, dan sebagainya.
“Mereka hanya mendengar rumor bahwa COVID-19 itu dari Cina dan merupakan konspirasi global. Mereka tidak tahu persis apa fungsi vaksin dan mempertanyakan kenapa tubuh dimasuki virus yang dilemahkan. Mereka dari kecil cenderung tidak dekat dengan dunia medis modern,” ucap Prijo.
Usai pendekatan beberapa bulan, Prijo diminta Sedulur Sikep untuk mengundang dokter yang sekiranya bisa mereka percaya untuk menjelaskan perihal COVID-19. “Saya tawarkan dari dinas kesehatan dan Puskesmas mereka tidak mau. Saya tawarkan dokter dari Semarang dan Solo tidak mau juga,” ungkap Prijo.
Para Sedulur Sikep lantas mengajukan nama seorang dokter yang tinggal di Surabaya. Ia adalah Alexandra Herlina. Herlina adalah seorang dokter yang turut mendampingi Sedulur Sikep saat melakukan aksi cor kaki dengan semen di depan Istana Negara sekitar enam tahun lalu sebagai bentuk protes atas penambangan karst dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara. Aksi ini banyak mendapat pemberitaan dari media nasional kala itu.
“Teman-teman Sedulur Sikep mungkin lebih percaya jika dokter Herlina yang bicara karena solidaritas yang terbangun di antara mereka sejak peristiwa di Jakarta. Jadi tanpa pikir panjang terkait masalah biaya dan sebagainya, saat itu pokoknya saya langsung mengiyakan,” ungkap Prijo.
Prijo pun segera menghubungi Herlina melalui telepon yang lantas menyanggupi datang ke Pati untuk berdiskusi dengan Sedulur Sikep. Beberapa hari kemudian, Herlina pun tiba di Omah Kendeng, tempat Sedulur Sikep telah berkumpul dan menunggu.
Sesampainya di sana, dokter Herlina dan para Sedulur Sikep pun berdiskusi. Dalam kesempatan tersebut, Sedulur Sikep banyak bertanya tentang pandemi COVID-19 dalam Bahasa Jawa. Menurut Prijo, mereka lebih nyaman menggunakan Bahasa Jawa dan kebetulan dokter Herlina juga sedikit banyak bisa menjelaskan dalam Bahasa Jawa. Diskusi hari itu berjalan dari jam satu siang hingga hampir jam sembilan malam.
Setelah diskusi, ternyata masih dibutuhkan beberapa waktu bagi Sedulur Sikep untuk akhirnya bersedia divaksin. “Mereka ternyata masih memiliki keraguan, sehingga saya pun berusaha terus meyakinkan mereka dalam beberapa kesempatan,” ucap Prijo.
Usai melakukan pendekatan selama hampir setengah tahun, akhirnya beberapa Sedulur Sikep di Sukolilo pun bersedia divaksin pada 31 Januari 2023 lalu. Vaksinasi ini dilakukan malam hari, saat para Sedulur Sikep melakukan Wungon di Omah Kendeng.
Semula hanya ada 20 orang yang mendaftar, namun seiring proses vaksinasi berjalan, terdapat 12 orang yang turut meminta untuk divaksin hingga akhirnya 32 orang berhasil divaksin malam itu. Vaksinasi tersebut difasilitasi oleh Puskesmas Sukolilo I dan didukung oleh beberapa organisasi serta komunitas di Pati seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), AGRA, Roro Mendut, dan Pelangi.

Edi Siswanto, Kepala Puskesmas Sukolilo I, sangat mengapresiasi vaksinasi tersebut. “Saya dan tim mengucapkan terima kasih pada pak Prijo yang telah memberikan kesempatan kami memvaksin Sedulur Sikep. Kami sudah berusaha lama tapi belum berhasil, dan dengan pak Prijo ini akhirnya Sedulur Sikep mau divaksin,” ungkap Edi dalam sebuah pesan singkat yang dikirim pada Prijo usai vaksinasi.
Tidak ada data pasti terkait berapa jumlah Sedulur Sikep yang ada di Sukolilo. Namun menurut estimasi Sedulur Sikep, diperkirakan ada sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di sana. Jika setiap KK diasumsikan memiliki empat anggota keluarga, maka jumlah Sedulur Sikep yang tinggal di Sukolilo bisa mencapai sekitar 800 jiwa.
Jumlah 32 suntikan vaksin ini tentu kecil dibandingkan dengan jumlah Sedulur Sikep di Sukolilo. Apalagi dibandingkan dengan berbagai usaha yang telah dilakukan selama hampir setengah tahun untuk mengajak mereka agar bersedia divaksin.
Tetapi bagi Prijo, capaian tersebut hanyalah sebuah angka. Yang terpenting adalah bagaimana kita memaknainya sebagai sebuah proses ke arah yang lebih baik.
“Kunci utamanya adalah komunikasi. Teman-teman Sedulur Sikep ini perasaannya sangat halus, mereka juga ingin dimanusiakan… Saya melihat ini sebagai tantangan tersendiri, bagaimana supaya Sedulur Sikep memperoleh haknya atas vaksin,” ungkap Prijo.