Femini.id – Komisi Nasional Anti Kekerasan (Komnas Perempuan) meminta Mahkamah Agung (MA) memperkuat jaminan hak atas dan perlindungan hukum terkait perempuan menangani dengan hukum, termasuk dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan bahwa dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat terdapat beberapa lapisan masalah yang penting untuk disikapi oleh Mahkamah Agung karena berhubungan erat dengan akses keadilan hukum.
“Terutama perlindungan perempuan korban seksual dan perkosaan,” kata Andy, Sabtu, 26 Maret 2022.
Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa di aspek substansi, pengaturan tentang perkosaan keseimbangan dengan tindak zina tanpa mempertimbangkan kerentanan perempuan korban.
“Hal ini antara lain ditunjukkan dengan pengaturan tentang sumpah maupun bentuk pemidanaan terhadap pelaku. Pengaturan serupa membuat perempuan korban perkosaan rentan diabaikan atas alasan tidak cukup bukti, atau dikriminalisasi dengan delik zina ketika dianggap sebagai tindakan sukarela,” ujarnya.
Andy menerangkan, pemidanaan yang kerap dilakukan para pelaku perkosaan dan seksual adalah cambuk, yang berbeda dengan hukum nasional yang menghapus pelanggaran, juga merisikokan keselamatan jiwa korban dari tindak balas dendam pelaku yang bisa segera kembali ke masyarakat pasca eksekusi.
“Risiko ini dihadapi baik oleh korban jiwa maupun perempuan dewasa,” ucapnya.
Dengan pertimbangan tersebut, berdasarkan Surat Edaran MA No. 3/SEMA 10/2020, hukuman bagi pelaku seksual dan perkosaan terhadap anak adalah pidana penjara. Namun, pengaturan ini tidak berlaku untuk kasus-kasus korban perempuan di atas usia 18 tahun.
“Persoalan lain adalah, penguasaan agama pada hukum pidana dan pemeriksaan tindak pidana juga lemah. Kondisi ini terutama merugikan perempuan yang berhadapan dengan hukum,” jelasnya.