Aceh Besar: Konservasi penyu harus mengutamakan pendekatan alami untuk mempertahankan insting alami tukik. Pakar biologi laut Universitas Syiah Kuala (USK) menegaskan, kesalahan dalam penanganan telur dan tukik justru dapat mengancam kelangsungan hidup penyu.
Irma Dewiyanti, Kepala Laboratorium Biologi Laut FKP USK, menjelaskan bahwa pemindahan telur penyu ke sarang semi-alami hanya boleh dilakukan jika ada ancaman predator.
“Prinsip utamanya adalah seminimal mungkin campur tangan manusia. Jika tidak ada ancaman, biarkan proses alami berjalan,” kata Irma dalam technical workshop sea turtle di Konservasi Penyu Lampuuk, Rabu, 28 Mei 2025.
Menurut Irma, penyu memiliki kemampuan memory imprinting yang unik. Proses berjalan dari sarang ke laut akan terekam dalam memori tukik, sehingga mereka dapat kembali ke pantai yang sama untuk bertelur puluhan tahun kemudian.
“Kesalahan fatal yang sering terjadi adalah menyimpan tukik terlalu lama di bak penangkaran. Idealnya, tukik harus dilepas ke laut dalam waktu 24 jam setelah menetas. Praktik menyimpan tukik berhari-hari justru mengurangi kemampuan adaptasi mereka,” tegas Irma.
Proses pelepasan tukik pun harus dilakukan dengan benar. “Tukik harus berjalan sendiri dari pantai ke laut, bukan dilempar ke air. Ini penting untuk pembentukan memorinya. Kuncinya memori penyu ini harus kita jaga jangan sampai rusak,” jelas Irma.
Sementara itu, Ikhsan Jamaluddin, Ketua Kelompok Konservasi Penyu Lampuuk, membuktikan keberhasilan pendekatan alami ini.
“Tingkat keberhasilan konservasi kami meningkat dari 70% menjadi 90%,” ungkapnya.
Ancaman utama konservasi penyu di Aceh meliputi perburuan liar, polusi plastik, dan erosi pantai. Kelompok konservasi terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem penyu.
“Setiap kita akan melepaskan tukik kita selalu mengumpulkan masyarakat namun tidak terlalu ramai, dan juga memilih hari yang tidak terlalu ramai pengunjung juga mengingat wilayah ini adalah tempat wisata. Hal ini kami lakukan sebagai upaya untuk mengedukasi masyarakat,” jelasnya.
Dengan menggabungkan pengetahuan ilmiah dan kearifan lokal, Aceh berkomitmen menjaga kelestarian penyu sebagai bagian penting dari ekosistem pesisir.
Sebelumnya, untuk mendukung pelestariannya, pihaknya membangun sebuah bak penetasan penyu di kawasan konservasi Lampuuk. Bak ini memiliki kapasitas 10 sarang untuk menampung hingga 100 butir telur penyu dalam satu sarang. Kegiatan ini, merupakan Pengabdian Kepada Masyarakat Berbasis Produk Terknologi Tepat guna (PKMBP-TTG) USK 2024.
Pemanfaatan limbah Fly Ash-Bottom Ash (FABA) untuk memodifikasi naungan bak penetasan telur penyu menjadi inovasi dalam upaya konservasi penyu di kawasan Lampuuk, Aceh Besar. Selain berkontribusi pada pelestarian satwa langka ini, inovasi tersebut juga dapat meningkatkan potensi edutourism di kawasan konservasi.