Login

Populer

Ada ‘Kartini’ di Stasiun Penelitian Soraya

Ibarat jantungnya soraya, Kartini juga layak disebut bak perempuan pejuang konservasi. 

‘Woman chef in the junggle’ (juru masak perempuan di hutan rimba). Mungkin kalimat ini yang wajib di sematkan untuk satu-satunya juru masak perempuan berjasa besar itu. Dia rela mengabdikan dirinya di tengah hutan belantara, demi kepulan asap dapur di stasiun penelitian soraya tetap membubung untuk memberi asupan energi bagi orang-orang disana.

Saat itu, langit masih gelap, jarum jam menunjukkan pukul 04.00 WIB, suasana sunyi, ditemani nyaringnya suara alam jangkrik, tonggeret dan serangga lainnya, bersahutan diantara tajuk pepohonan di tengah hutan sekunder di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Dari ketinggian 80 meter diatas permukaan laut (mdpl), disana terdapat bangunan Stasiun Penelitian Soraya tepatnya di Kota Subulussalam, Provinsi Aceh.

Potret Stasiun Penelitian Soraya melalui drone. Foto: Junaidi Hanafiah

Langkah kaki terdengar dari salah satu kamar pada bangunan panggung kayu berarsitektur Aceh itu, perlahan langkahnya semakin terdengar menuju ke arah dapur stasiun itu, yang berada di belakang terpisah dari bangunan utama.

Dari ruang dapur berukuran 3 kali 3 meter tercium aroma tumis rempah, kepulan asap pun membubung. Subuh itu, seorang perempuan keluar dari pintu belakang dapur. Tak ada ketakutan, meski berhadapan langsung dengan rimba, dia langsung mulai menyusun remahan kayu bakar, membuat jelaga kayu tepat di atasnya untuk dibakar. Ya, kayu bakar itu digunakan untuk memasak air.

Tempat Kartini memasak air yang langsung berhadapan dengan hutan belantara. Foto: Femini.id/Fatma

Tangan cekatannya dengan mudah dan cepat meramu masakan dalam takaran yang tidak sedikit. Mulai dari menanak nasi dari beras-beras yang kerap terkuras, memotong sayur, mengiris bawang, menakar rempah untuk mengolahnya menjadi makanan yang lezat dan bergizi hingga menyeduhkan teh dan kopi. Tanpa mengeluh, ia tetap setia di dapur hitam berjelaganya, menjaga agar semuanya terpenuhi.

Kartini, Juru masak di Stasiun Penelitian Soraya. Foto: Femini.id/Fatma

Perempuan itu adalah Kartini, 42, juru masak di Stasiun Penelitian Soraya. Berbekal kegemarannya memasak sejak kecil, menyajikan makanan setiap hari untuk para pengunjung di stasiun penelitian soraya, adalah kewajiban yang menyenangkan baginya.

“Apalagi, kalau makanannya ludes di lahap sama tamu-tamu disini. Kakak boleh senang banyak kan,” kata Kartini dengan logat melayunya, saat dikunjungi Femini.id di Stasiun Penelitian Soraya pada awal Maret 2023.

Terlebih, ketika Kartini terkadang harus bangun pukul 2 dini hari untuk memasak bagi para mahasiswa yang sedang penelitian disana.

“Kadang kakak bangun jam 2 malam, masak bekal buat adik-adik yang harus masuk hutan subuh-subuh untuk menuju ketempat orangutan, biar mereka ada tenaga kan waktu masuk hutan,” ujarnya.

Sebagai orang yang ikut andil dalam perjuangan para peneliti disana, meskipun hanya sekedar menyajikan bekal untuk dibawa kehutan. Dia merasa senang jika para mahasiswa peneliti itu berhasil, karena kelelahannya terbayar dengan melihat orang-orang yang pernah mengukir kenangan di kamp itu berhasil.

“Kalau adik-adik ini berhasil, kakak boleh juga ikut senang kan. Karena mereka balik ke stasiun bawa hasil dari perjalanan penelitiannya seharian. Tapi kalau mereka pulang gak dapat apa-apa kakak juga ikut sedih,” tuturnya.

Dia mengatakan, untuk kebutuhan memasak selama disana ia harus turun ke Gelombang (daerah di Kota Subulussalam) di hari Rabu, untuk berbelanja kebutuhan stok selama satu minggu, karena pasar disana hanya ada di hari Rabu.

Untuk menuju ke Gelombang, Perempuan bertubuh tambun itu harus menempuh turunan tanjakkan terjal dari kamp sekitar 30 menit, kemudian perjalanan menggunakan speedboat melewati sungai Lae Soraya, dengan menempuh perjalanan satu jam setengah.

Potret sungai Lae Soraya malalui drone. Foto: Junaidi Hanafiah

“Untuk belanja kakak sendiri yang belanja tapi dikawanin sama adek-adek disini untuk bawa barang karena gak sanggup juga kan bawa barang belanjaan yang begitu banyak sendiri. Kalau menu favorit disni itu bebek masak teluh (kuliner khas Aceh Tenggara). Tapi itulah, kadang-kadang karena susah cari bebeknya, kita harus pergi jauh ke Kota Subulussalam untuk membeli bebek,” ungkap Kartini.

Dia mengungkapkan, saat pertama kali menginjakkan kaki di Stasiun Penelitian Soraya di tahun 2017, ia hanya diminta untuk mengajarkan juru masak yang baru bekerja disana selama satu minggu. Namun, karena juru masak tersebut tidak betah, akhirnya Kartini diminta untuk membantu disana. Hingga kini, Kartini di kontrak untuk bekerja tetap.

“Pertama kerja disini seminggu, terus berlanjut dua minggu dan seterusnya. Waktu itu kan belum naik speedboat, masih naik perahu robin. Jadi kita dijalan agak lama. Terus kadang-kadang robinnya rusak waktu kita mau turun ke Gelombang harus tunggu dibuat dulu, kalau sekarang kan sudah ada speedboat, dan mungkin kendala itu sudah agak berkurang,” ucapnya.

Tanpa Jaringan Internet

Kartini mengaku, di satu sisi, bekerja dan tinggal selama 20 hari di tempat yang tidak ada akses jaringan internet suatu ketenangan tersendiri, karena semua orang di kamp bisa menghabiskan waktu duduk bersama, saling bercengkrama dan bercanda satu sama lain tanpa pengaruh gadget. Namun, disisi lain ia juga merasa sulit ketika harus menghubungi keluarganya.

“Kalau jaringan internet, memang dari dulu sudah gak ada disini. Jadi sudah biasa lah, paling kalau mendesak perlu telepon, baru kakak cari jaringan di atas gunung yang jauhnya sekitar satu kilometer dari kamp,” ujarnya.

Satu-Satunya Perempuan

Menjadi satu-satunya perempuan yang berada di kamp, meskipun berada diantara laki-laki, dia tetap merasa nyaman, karena dirinya menganggap mereka semua seperti keluarga. Bahkan, mereka juga sangat menghargai dan memperlakukan kartini dengan baik.

Kartini sedang memasak ketan durian untuk pengunjung di kamp. Foto: Femini.id/Fatma

“Suasana disini nyaman walaupun kakak sendiri perempuan. Karena mereka baik-baik dan kakak pun menganggap mereka pun seperti adik dan abang kakak sendiri. Sebenarnya kalau bekerja itu tidak masalah dimana pun, tergantung dimana tempat kita kerja. Kalau niat kita itu untuk kerja mencari duit yang halal kita gak perlu takut sama kawan-kawan kan walaupun sendiri,” kata Kartini.

Ditentang Keluarga

Sebelum bekerja di Stasiun Penelitian Soraya, kartini dulu pernah bekerja di Stasiun Penelitian Ketambe bersama soeorang juru masak disana bernama Khatijah yang masih ada hubungan keluarga sebagai ipar. Namun, karena terjadi konflik di daerah tersebut kamp Ketambe dibakar, Kartini memutuskan untuk mengadu nasib di negeri jiran Malaysia.

“Kakak 8 tahun kerja di Malaysia dan akhirnya kembali lagi ke Aceh, karena orang tua minta kakak untuk kembali Aceh. Terus sempat bantu-bantu masak di Wisma Cinta Alam di Ketambe waktu uda pulang ke Aceh, itu tempat kakak kandung. Baru setelah itu diminta bantu ke Soraya” ujarnya.

Sempat ditentang keluarga saat bekerja di Stasiun Penelitiann Soraya, karena lokasi yang berada di hutan belantara, terlebih tanpa jaringan. Kartini pun berusaha menyakinkan keluarganya bahwa dia sanggup dan akan baik-baik saja selama disana.

“Tapi kalau soal orang tua, kita tetap harus restu juga dari orang tua kemana pun kita pergi, kalau restu itu tidak ada mungkin kita gak akan betah,” ungkap Kartini dengan nada sedikit terisak.

Ketakutan Kartini

Terkadang Kartini juga diselimuti rasa takut ketika sendiri, di saat orang-orang di kamp sedang masuk ke hutan. Dia takut jika ada ada orang yang tidak ia kenal masuk ke stasiun dan memiliki niat tidak baik.

Meski demikian, dia selalu berusaha menyapa setiap orang yang berkunjung kesana dengan baik, karena menurutnya setiap orang yang datang ke stasiun adalah tamu.

“Kadang-kadang kita takut juga kan, bukan kadangpun setiap orang datang kita harus takut, tapi kita harus tanya juga dia mau apa kesini, mungkin dia ada keperluannya kita tidak tau. Walaupun itu orang kampung kan kita harus menyapa, karena kalau sudah datang ketempat kita kan itu adalah tamu kita,” jelasnya.

Kartini Dimata Orang Sekitar

Bagi orang-orang disekitarnya ‘Kak Kar’ sapaan akrabnya, dianggap sebagai support system. Tidak seperti koki-koki pada umumnya yang memasak di dapur restoran yang mewah, Kak Kar justru memasak di kamp yang berada di tengah hutan belantara.

Feri Sandria, Manager Stasiun Penelitian Soraya. Foto: Femini.id/Fatma

Manager Stasiun Penelitian Soraya, Feri Sandria, mengatakan untuk menuju ke kamp soraya, Kak Kar harus mendaki gunung yang terjal dengan ketinggian 80 mdpl bahkan dengan kemiringan 45 derjat. Menurutnya, tidak semua orang bisa seperti Kartini.

“Kak Kar itu spesial disini, karena dia satu-satunya perempuan yang ada disini. Ibaratnya di kamp ini kalau gak ada Kak Kar, mungkin gak ada support system. Jadi selama ini Kak Kar memasak untuk kita semua agar kita punya energi untuk masuk kehutan,” kata Feri.

Feri mengatakan, dalam sebulan Kartini bekerja selama 20 hari, totalnya 23 hari dengan perjalanan. Dan setelahnya, dia libur selama satu pekan untuk kembali ke kampung halamannya di Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

Untuk diketahui, Jarak dari Soraya ke Ketambe, jika menggunakan jalur sungai menggunakan speedboat, sekitar 4 jam lebih melintasi sungai Lae Soraya menuju sungai Alas. Namun, jika melewati jalur darat menggunakan angkutan umum sekitar 7 jam perjalanan dari Kota Subulussalam.

Speedboat melintasi sungai Lae Soraya. Foto: Femini.id/Fatma

“Setiap hari rabu kita turun dari stasiun, melewati sungai Lae Soraya menggunakan perahu kayu sekitar 1 jam setengah untuk berbelanja di Gelombang. Disana Kak Kar yang belanja untuk kebutuhan selama seminggu di kamp, kita cuma temani aja, karena cuma Kak Kar yang lebih tau takaran untuk berapa orang dan kebutuhan dalam seminggu itu,” ujarnya.

Menurutnya, Kartini sangat ramah kepada setiap tamu yang berkunjung tak terkecuali tamu dari Warga Negara Asing (WNA), ia mengaku Kartini jago mencairkan suasana di tengah sunyinya kamp yang berada di tengah hutan itu.

“Kalau untuk hasil masak Kak Kar sepertinya tidak pernah kita dapatkan di warung-warung makan di pinggir jalan sana karena semua masakan Kak Kar itu enak-enak. Dan para tamu juga semua suka,” ungkap Feri.

Sosok Kartini

Kartini, layak dicatut sebagai sederet ‘Perempuan Pejuang Korservasi’. Sosoknya mungkin tak seperti Kartini pahlawan nasional Indonesia di masa lalu. Namun, dia adalah sosok ‘Kartini’ masa kini, sosok perempuan yang multitasking. Dia rela memberikan waktunya bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga, tetapi juga lingkungan sekitar terlebih dunia konservasi.

Stasiun Penelitian Soraya

Untuk diketahui, Soraya adalah nama stasiun penelitian yang merupakan salah satu dari tiga stasiun penelitian yang ada di hutan Aceh. Tempat itu tidak hanya untuk penelitian tapi juga untuk pelatihan konservasi dan edukasi, peneliti dari berbagai kalangan mahasiswa bahkan akademisi di seluruh dunia pun tertarik meneliti disana.

Kamp Stasiun Penelitian Soraya. Foto: Femini.id/Fatma

Stasiun Penelitian Soraya yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, merupakan laboratorium rimba bagi para peneliti dunia karena keanekaragaman hayati flora dan fauna yang ada di KEL itu. Selain Soraya, terdapat stasiun penelitian lainnya yaitu Stasiun Penelitian Ketambe di Aceh Tenggara dan Stasiun Penelitian Suaq Belimbing di Aceh Selatan.

Ibnu Hasyem, Koordinator Riset, Edukasi dan Database Forum Konservasi Leuser (FKL), mengatakan Soraya dibangun diatas konsesi penebangan sejak 1992 dan sempat terjeda karena bekas industri usaha kayu.

Kemudian sejak 2016, FKL bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh mengaktifkan kembali kawasan tersebut dengan area pengelolaan soraya seluas 1600 haktare.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Foto drone: Junaidi Hanafiah

“Sementara, untuk area yang sering digunakan sebagai penelitian dan telah ada trail nya ada sekitar 350 haktare. Soraya bukan hanya untuk penelitian, tapi juga pelatihan konservasi dan edukasi,” kata Ibnu.

Ibnu menerangkan, Stasiun Penelitian Soraya berfungsi untuk melindungi pertumbuhan hutan yang telah ditebang dan memulihkan hutan sekitarnya, serta mempromosikan penelitian keanekaragaman hayati di hutan sekunder.

Meski Stasiun Penelitian Soraya sempat terjeda dari tahun 1999 hingga 2016 akibat konflik Aceh yang masih berlangsung dan kawasan hutan di sekitarnya menjadi basis kelompok separatis. Namun, pada 2016 FKL bersama beberapa pihak membangun kembali stasiun ini dan sekarang telah beroperasi penuh, dan kembali menyambut para peneliti di seluruh dunia.

 

- Advertisement -

Berita Terkait